Ahh, topik yang bosan lagi. Butuh dan Ingin. Semua orang pasti tahu principle itu, kan?

Butuh dan Ingin, need vs want, yang berarti, bedakan antara kebutuhan dan keinginan. Misalnya, Jika kamu ingin membeli suatu barang, pastikan itu adalah kebutuhanmu, bukan karena hasratmu untuk ingin saja. Seperti itu kurang lebih, ya kan?

Tapi aku mengamati, bahwa disekitarku, banyak sekali yang tidak menerapkan prinsip itu. Entah mungkin mereka sengaja lupa atau tidak, bukan urusanku sih. Namun, kepada reader yang baik, aku ingin mengingatkanmu lagi. Akan aku jabarkan, bahwa need vs want sebenarnya tidak hanya tertuju pada beli-atau-tidak. Justru lebih luas dari itu.

Dilema Ngampus dan Nugas: Memahami Kebutuhan

Oh, kampus, andaikata kau libur full minggu ini saja, aku, kamu, dan semua kolega kelas pasti akan bersuka cita, Yeayy libur!.

Tapi tunggu, mengapa kita suka libur? Bukankah ini sebuah dilema, jika kita suka libur, lalu mengapa kita kuliah? Ini dia bedanya. Untuk mencari sebab dari dilema ini, kita butuh tahu, mengapa kita kuliah?.

Yeah, kuliah memang kebutuhan. Aku tahu itu dan semua orang pasti mempunyai banyak alasan baik sendiri mengapa harus kuliah daripada tidak. Namun anggap saja salah satunya adalah mendapatkan ijazah sehingga bisa melamar kerja diberbagai tempat.

Nah, problem nya disini. Apakah kita keberatan untuk Liburan satu-dua minggu? Tidak kan, karena sejatinya kita butuh kuliah karena ijazah, dan libur satu dua minggu bagi kita adalah surga, karena meski dapat jatah waktu banyak, kita tetap dapat ijazah, salah satu alasan utama kita butuh kuliah.

Okey, mungkin masih banyak yang tidak sependapat denganku, kalau itu kamu, maka tidak apa-apa, aku tidak peduli, toh itu kan menurutmu, dan tiap orang pasti punya beda kebutuhan sehingga punya pendapat tentang itu.

Tapi jangan sangka momok yang bikin kita malas sebagai mahasiswa, sebut saja tugas, praktikum, deadline, kuis, dan sebagainya. Jika kamu amati, kebanyakan mahasiswa pasti lebih memilih kuliah tanpa tugas. Kenapa? Karena kita pasti akan kembali pertanyaan awal, buat apa kuliah?. Dan yeah, kampus pastinya tidak akan memberikan ijazah kalau 144 SKS belum kamu selesaikan tuntas. Jadi kita tetap mengerjakannya, karena itu sebuah tanggung jawab, yang lahir karena kita butuh sebuah ijazah itu.

Tapi jangan salahkan juga, kenapa masih banyak rekan kita juga suka ngecheat dalam prosesnya: sebut saja nyontek, titip-absen, plagiasi, dan lain sebagainya. Menurutku itu natural, melihat dari kebutuhan seseorang (dan motivasi) untuk kuliah, yakni untuk kebanyakan orang, ialah kuliah untuk mendapatkan ijazah dan nilai cukup. Bagaimana kalau menyelesaikan kuliah secara benar dan jujur? Apakah itu kebutuhan setiap mahasiswa? Pfft… Aku ragu, itu bukan kebutuhan kalian, apalagi aku, itu hanyalah bualan maba yang hanya menjadi keinginan belaka di siang bolong.

Jadi, sekali lagi, aku tidak tahu kebutuhan spesifik kalian, mungkin saja kalian bersemangat kuliah karena ikut termotivasi oleh dosen tertentu (yang berarti, kebutuhan kalian adalah untuk termotivasi), atau kalian tidak tertarik dengan perkuliahan, namun tertarik untuk berperan dalam organisasi, atau bahkan sekedar kupu-kupu siang bolong, aku tidak peduli. Aku menghargainya seperti menghargai pendapat orang lain. Yang terpenting, jangan hiraukan ocehan burung dari orang lain, seperti merasa paling bodoh dalam kelas, atau paling anti-sosial karena non-aktif organisasi, lalu takut menjadi orang yang insocial karena itu, tidak. Cukup liat dan yakin dari dirimu sendiri, Apa kebutuhan mu disini?

Last of reminder: Kuliah Sewajarnya.

Dilema Orang Cerdik: Memahami Keinginan

Keinginan itu normal. Manusia mempunyai nafsu, mempunyai hasrat untuk aku ingin ini dan aku belum puas dengan itu. Nafsu tidak sepenuhnya jahat, karena nafsu menimbulkan keinginan, keinginan menimbulkan motivasi, dan motivasi untuk menjadi lebih baik adalah tentu baik.

Namun nafsu dan keinginan harus dibatasi, terlalu banyak juga tidak bagus, sebaik apapun itu.

Ini adalah dilema paling besar sebagai orang pintar. Maksudku, liatlah semua orang ingin pandai dalam banyak hal, namun apakah mereka sadar akan konsekuensinya? Great power comes with great responsibiliy. Sebagai orang yang pernah tau banyak hal, kukasih tau faktanya: bahwa semakin pintar seseorang, maka semakin tidak santai hidupnya.

Wkwkw jangan menyangkal, Aku tidak membual atas statement diatas. Contoh kecil saja, bagaimana drastisnya perubahan dirimu dari kecil sampai besar? Apakah masa kecilmu tidurmu selalu nyenyak? Bagaimana dengan sekarang? Semakin dewasa, kita semakin pintar untuk memenuhi kebutuhan sendiri, namun juga semakin kecil waktu kita bersenang-senang, bahkan untuk tidur nyeyak. kesibukan kita memenuhi kebutuhan bahkan sering membutakan kita atas kebutuhan simpel kita yang lain, seperti kebutuhan untuk tidur cukup contohnya.

Bagiku, dilema orang pintar ini adalah krisis yang serius. Maksudku, lihatkah aku menulis artikel ini pada jam 2 pagi, padahal aku mempunyai kelas jam 7 pagi nanti. Itu adalah salah satu masalahku yang masih “kecil”, kurang mensyukuri nikmat tidur karena tanggung jawab. Meskipun aku mengganggap kuliah adalah hal yang kecil, namun tidak pada tanggung jawab lainnya. Sekali lagi, orang pintar pasti tidak santai hidupnya, dia pasti dijadikan “buronan” untuk orang-orang bodoh, baik dia sendiri suka atau tidak, dan penolakan adalah cara yang paling irrespectible karena itu dipandang sebagai sebuah ego. Itu adalah masalah “menengah”.

Masalah terbesarnya? Ialah power. Semakin pintar seseorang, semakin dipuji, semakin disegani, semakin dipercayakan oleh banyak orang, mengundah sebuah tanggung jawab. Dan, pasti ada banyak tanggung jawab berikutnya setelah tanggung jawab sebelumnya selama mereka yakin “aku bisa” atau sisanya adalah soal martabat, kepercayaan, dan harga diri yang menjadi taruhannya. Kadang, orang pintar itu mempunyai tanggung jawab yang melampaui kemampuan seorang human sehingga mereka menghimpun kelompok yang hanya menjadi persoalan ialah, mengatur orang-orang tersebut dan lagi-lagi mempertarukan banyak hal bergantung motivasi dan seberapa bagusnya koordinasi orang itu sendiri.

Ahhh, aku pusing. Aku benar-benar tidak membual. Lupakan tentang tanggung jawab, Orang pintar bahkan bisa bingung mau kemana hidup ku dibawa? Karena dia pintar, tau ini itu, sehingga dia punya banyak opsi bagaimana melanjutkan karir atau hidupnya kedepan. Orang-orang bilang, belajar, agar sukses kelak. Namun nyatanya itu tidak bisa dipetik semanis anggur, karena semakin kaya ilmu seseorang, semakin banyak “opsi” sukses mereka, dan takut jika “opsi” yang dipilih salah, menyesal, lalu mundur, dan bla-bla-bla begitu seterusnya. Itu hanya ancaman dari dalam, belum ancaman dari luar, seperti orang-orang yang akan datang menarik dan mempengaruhi anda karena “kekayaan ilmu” anda, hanya tinggal menghitung waktu apakah “bos” dan “rekan” anda bekerja dengan anda, atau menjadikan anda sebagai boneka atau bahkan menukik dari dalam, dengan ambal-ambal mengcover kebutuhan anda yang tidak sepadan dengan keinginan anda, kekayaan diatas keintelektuan, dan bla-bla-bla.


Jadi, Inti dari dilema sedemikian rumitnya, ialah keinginan. Seperti keinginan untuk pintar. Tidak ada bedanya seperti ingin kaya dan naik pangkat jabatan. Ilmu harus berputar (digunakan) layaknya bank mengatur ekonomi, mencegah inflasi dan deflasi. Ingat bahwa ini bukan berarti bodoh itu lebih baik, namun dalam mencari ilmu, kamu pun harus fokus, jangan coba mendalami semua hal hanya karena “banyak tahu makin bagus” atau “takut untuk bodoh dalam X”, kamu harus tahu kebutuhanmu sendiri, bidang apa yang ingin kamu dalami agar kamu bisa memenuhi kebutuhanmu sendiri tanpa bantuan orang lain, dan jangan pernah sekali-sekali untuk bertindak rakus dan ambisius, meskipun itu tujuannya ilmu.

Aku? Iya, Aku suka pemrograman, dan awalnya aku mengincip hampir semua bahasa pemprograman dan konsepnya, namun setelah itu semua, aku mengerti, bahwa pasti tidak semuanya aku gunakan. Bahkan, aku mungkin hanya menggunakan beberapa saja untuk professional capability dalam bidang yang menarik bagiku: web. Aku tidak tergiur dengan rumor-rumor area job pemrograman lain seperti data mining, game, atau pun content creator yang job gajinya lebih tinggi, karena aku melihat web sebagai kebutuhan tinggi, dan ranah pengembangan yang cocok bagiku.

Hakikat Kebutuhan dan Keinginan

Kita hidup, lalu mati tanpa meninggalkan apapun. Jadi buat apa hasrat untuk ingin memiliki sesuatu? Seandainya kita selalu terjamin kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan – Mengapa kita masih sibuk bekerja?

Jawabannya, karena kita ingin hidup kita berarti. Ya, memang sandang, pangan, papan adalah kebutuhan pokok, namun saat kita bekerja dan ketiga-tiganya tercukupi, apakah manusia akan berhenti? Tidak, karena itu sifat manusia. Sosial, Konsumtif, dan selalu ingin Dihargai. Kadang kita bekerja lebih giat agar bisa menghidupi orang lain yang kita sayangi, atau menghidupi komunitas yang kita peduli. Namun jangan lengah, jangan sampai dibutakan oleh tingginya ilmu, kekayaan atau status sosial hingga lupa pada diri sendiri, lupa pada kebutuhan haqiqi kita sesungguhnya, yakni kebutuhan fisik, sosial, dan spiritual.

Bagiku? Itu berarti sebuah reminder bahwa, aku harus senantinya bersyukur terhadap apa yang aku dapatkan saat ini. Sebuah pengertian, makna hidup, bahwa aku disini bukanlah siapa-siapa. Aku hanya seorang geek yang bisa menikmati dan memanfaatkan banyak waktu luang untuk membuat sesuatu yang menurutku berguna, ditemani oleh musik yang memotivasi pikiran, atau menentramkan hati. Mungkin suatu saat salah satu programku akan melejit populer, namun aku akan berusaha keras untuk tidak dibutakan dengan uang, for the greater good. Diatas karir tinggi, aku ingin sebernarnya, mungkin di tahun 30 atau 40 untuk lepas dari kesibukan kosong ini dan beralih ke sesuatu yang lebih bermanfaat, foundation non-profit, mungkin? dan menikmati hari senja lebih dekat bersama keluarga dan sahabat.

Menyadari semua ini, membuatku menyukai diriku sendiri. How about you?