Hemat pangkal Miskin
Ya, aku tau itu tipo. Harusnya “Hemat pangkal kaya”. Tapi percayalah ada hal-hal tertentu yang membuat orang yang suka berhemat menjadi tambah miskin, bukan sebaliknya.
Pada dasarnya, hemat itu boleh boleh aja. Yang bagus, adalah memilah antara “kebutuhan” dan “keinginan”. Kalau beli karena kebutuhan saja, maka itu bagus. Jangan seperti adek saya yang sukanya beli mainan hanya untuk dibuang.
Yang gawat dari “hemat” ialah, saat kita mulai membatasi barang yang kita beli padahal itu juga suatu kebutuhan. Itu yang gawat, karena hemat itu beda tipis dengan pelit. Pelit untuk kebutuhan diri sendiri adalah suatu fenomena yang sangat sering aku jumpai pada rekan-rekanku baik itu mereka anak BM maupun anak sultan.
Aku tahu, mereka yang suka hemat, mempunyai beragam alasan dan argumen yang kuat, seperti, mereka ingin tidak membebani orang tua, mereka menyesuaikan pengeluaran dengan budget income, dan lain sebagainya. Namun alasan-alasan itu menurutku bukan berarti kita pun pelit bahkan untuk kebutuhan diri-sendiri.
Meski rezeki tidak turun datang langit saat kita membutuhkannya, jangan sampai kita pelit karena musim kemarau melanda.
Contoh yang paling sederhana, ialah mengendalikan jatah makan. Aku tidak menyalahkan mereka yang suka masak nasi dan lauk mereka sendiri selama mereka nyaman dengan itu. Namun bagaimana dengan mereka yang cuma makan sehari satu kali? Atau mereka yang makan mie instan melebihi batas wajar (>2x dalam seminggu)?
Jika budget makan mu lebih dari 100 ribu per minggu, aku asumsikan boleh boleh saja beli makan tiap hari di luar (7000 * 2 makan * 7 hari = 98000). Anak BM yang jatah perbulannya sekitar 700 ribu jelas masih sanggup. Namun jika tetep bersikeras juga boleh masak nasi sendiri tinggal beli lauk. Tapi itu menghemat, paling mentok 20 ribu untuk satu minggu. Terus bagaimana jika jika jatah makanmu dibawah 80 ribu satu minggu? Tanya lagi pada dirimu, sebegitu pelitkah dirimu terhadap dirimu sendiri?
Budget vs Time
Jika anda mulai membatasi budget untuk kebutuhan, yang aku lihat, ialah dampaknya pasti berpengaruh terhadap waktu. Atau dengan kata lain, semakin anda pelit, semakin banyak waktu yang akan terbakar untuk menutupi kepelitan anda sendiri.
Menurutku, waktu itu jauh lebih berharga daripada budget. Apalagi waktu muda seperti sekarang. Budget yang terbuang masih bisa dicari sedangkan waktu yang terbuang tentu tidak. Jika aku membeli barang X sehingga aku bisa meringkas waktu, maka aku anggap itu juga sebagai kebutuhan.
Contoh sederhana, jika saat anda mulai merasa lapar pada jam siang bolong, anda mempunyai 2 pilihan: Makan sekarang atau nanti malam. Jika anda milih makan sekarang ada kemungkinan malam lapar lagi, kan? Jadi untuk mereka yang mindset orang hemat, pasti menunggu nanti malam. Masalahnya disini ialah dia tidak tahu resikonya, yakni mereka membuang 6 jam waktu karena kepikiran lapar sehingga tidak fokus selama mereka masih menunggu waktu jam mereka sendiri.
Contoh lain yang lebih ekstrim yang aku perhatikan ialah, banyak rekan dari jurusanku yang mengeluh laptop tidak kuat speknya untuk mengerjakan tugas kuliah. Yang susah dari sini ialah, saat aku tanya kenapa mereka tidak upgrade, mereka bilang “tunggu liburan semester”, “tunggu cairan BM”, dan lain sebagainya. “Tunggu” ini ialah bahaya, karena apakah mereka sendiri sadar kalau mereka masih membuang waktu, sekitar 6 bulan… hanya untuk menunggu waktu upgrade laptop?
Sekarang aku beri kamu sebuah perspektif. 6 bulan itu jika kamu konverskan ke dalam 6 bulan waktu freelance (400 ribu per minggu), maka ia akan berharga sekitar (6 bulan * 5 minggu * Rp 400000 = ) 12 juta. Sekarang anda pilih, manakah yang menurut anda rela untuk hangus? 6 bulan waktu anda yang bisa dihargai sekitar 12 juta atau upgrade spek sekarang yang yah, paling mentok cuman 500 ribu untuk upgrade SSD?
Jika anda dalam situasi seperti itu, dan tetap menunggu hingga 6 bulan. Menurutku anda perlu instropeksi diri, seberapa berharga sih, waktu menurut anda? 50 ribu untuk satu bulan? Menurutku miskin kayanya nya seseorang bukan dilihat dari seberapa tebel kertas uang didalam dompet mereka, namun seberapa berharganya waktu di mata mereka sendiri. Jika dimata mereka waktu itu emas, setidaknya mereka benci dengan membuang waktu hanya untuk menunggu. Ini bukan berarti mereka tidak sabaran, tapi sabar tanpa berusaha juga termasuk omong kosong.
Gain for Everything, but Preserve for Nothing
Jika dia sendiri mementingkan waktu diatas apapun, aku yakin segala sesuatu mereka akan menjadi mudah. Aku pun demikian, aku sering mencoba memanfaatkan waktu tenggangku untuk membantu orang lain jika mereka membutuhkan, ini bukan berarti aku kelebihan waktu dan membuangnya untuk orang lain, aku hanya ingin menghargai waktuku sendiri, meski itu berarti tenaga, budget dan pikiran juga ikut terbuang untuk mereka, bagiku itu tidak penting. Toh lagian, berjam-berjam waktu mereka untuk ngoding bisa disingkat menjadi 5-15 menit jika aku ikut bantu ngoding (tanpa menjelaskan, hehe).
Tapi inti dari semua ini adalah, “in the name of your curiosity, gain for everything and preserve for nothing”, Dunia akan terlihat sangat menarik jika kamu tetap menggali untuk apa yang kamu inginkan didunia ini. Maka dari itu, jika kalian mempunyai situasi pahit tentang ekonomi, aku sangat sarankan untuk mengubah perspektif anda dari hemat menjadi haus, atau dengan kata lain, jangan cuman berpikir hemat, hemat, hemat namun cari cara agar dapat pemasukan lain selain cairan BM atau orang tua. Jika itupun masih belum memungkinkan, intinya ialah buat dirimu senyaman mungkin dengan kondisi anda sekarang, dan tetap untuk berusaha memperbaiki lifestyle setiap hari.
Itu adalah Gain, The game theory dimana jika PacMan mempunyai 256 level, mengapa anda sendiri berhenti di level 1? Dunia pun demikian, jangan kamu kira tugas kuliah sudah cukup bikin kepala pening, itu bukan apa-apa, suwer. Masih ada dunia kerja ataupun dunia entrepeneur dimana deadline, inovasi, dan trouble-solving adalah makanan sehari-hari. Jika kamu tidak siap dan selalu menolak untuk terjun bersaing dengan dunia, buat apa kemudian hidup? hanya menambah masalah tanpa pernah mencoba menyelesaikannya?
Ada lagi Preservation, Jangan seperti Qarun yang hanya menyimpan anggur manis untuk dirinya sendiri. Ada tujuannya mengapa manusia mempunyai waktu yang sangat terbatas, yakni agar kita tidak menyimpan semuanya untuk diri sendiri, menganggap semua yang kita peroleh hanyalah titipan, masih ada keturunan dan sanak famili yang meneruskan perjuangan kita sendiri. Maka dari itu, tidak peduli kalau kalian anak mama ataupun anak sultan, jangan pelit bahkan untuk diri sendiri. Percayalah meski dompet kosong ditengah bulan pasti akal kita masih mempunyai banyak cara agar kita tidak mati kelaparan dikemudian hari.
Lagipula, jika kalian percaya pada Tuhan, Karma, dan semacamnya. kalian pasti tahu bahwa perbuatan baik akan dibalas dengan perbuatan baik. Pelit hanya akan menambah buruk situasi, Tuhan masih mempunyai 1001 cara untuk memaksa anda mengeluarkan isi dompet secara darurat dan terpaksa jika isi dompet itu tidak pernah kamu keluarkan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, orang lain, amal jariyah, kotak amal, dan semacamnya. “Preserve for nothing”, selama kalian percaya Tuhan pasti menambah rejeki pada seseorang sebanding dengan meningkatnya kebutuhan orang itu (untuk keperluan yang baik-baik).