PDF Tersedia. Download Disini

Satu dekade akan berakhir. Milenial ketigaku akan dimulai. Namun sebelum dekade ini berakhir, aku ingin bercerita, perjalanan “singkat”-ku selama satu dekade ini, dan mengapa aku sangat bersyukur akan hal itu.

Flashback

Awalnya, aku bukan siapa-siapa, hanya anak kecil yang maniak game. Akan mau jadi apa aku? Aku tidak tau saat itu. Tapi keingintahuanku dan doronganku tuk berubah cukup besar, entah dari mana semangat itu membara, namun itu sangat mendidikku untuk menjadi apa yang aku inginkan hingga detik ini.

Tahun 2010, aku ingat itu, pertama kali ikut olimpiade kemenag se-kabupaten langsung menang juara I. Siapa tahu itu bisa terjadi? Berjabat tangan dengan bupati Jombang kala itu, dan piala serta uang pertama kali bermodalkan latihan modul UN? Atau karena Pak Suliadi, pak Arif, bu Im, dan banyak guru MI ku lainnya yang sering membimbingku dengan belajar dan latihan rutin tiap minggu? Ataukah karena dukungan teman-teman seperti Yuyud, Fatih, Chusni dan banyak classmates lain yang tidak bisa aku sebut satu persatu?

Aku mungkin belum tahu saat itu bahwa hal kecil waktu aku duduk di MI, merupakan hal yang cukup luar biasa bagi mereka. Saat itu aku mengganggap enteng panggilan si anak kecil cabe rawit. Padahal masa kali itu aku masih suka cengeng, emosial, pendiam, bahkan aku pernah dimintai foto bersama saat penyelenggara tryout datang ke sekolahku karena aku juara, padahal saat itu aku sedang nangis di kelas!

Tahun 2012 berlanjut. Kelas Akselerasi MTsN Denanyar. Waktu itu aku dapat “tiket emas” hasil memenangkan lomba disana, dan kebetulan saat itu adalah angkatan pertama juga. Menurutku menariknya bukan bagian itu, disini, ketentuannya ialah wajib pondok, dan ternyata disitulah mentalku ditempa! Enam bulan pertama mungkin terasa seperti neraka. Awalnya pendiam dan suka cengeng, namun lambat laun aku dapat berbaur. Apa karena sahabatku seperti Rozan, Hakam, Obey, dan banyak lain yang sangat akrab membuatku bertahan? Atau kah pak Irwan, pak Sandi dan pengurus pondok lainnya, yang sering mendidikku dengan kajian kajian, yang selalu sabar menyimak setoran dari santri? Atau kah pak Arif, pak Rino, bu Rohmah dan guru-guru MTsN lain yang sering memberikan pelajaran serta motivasi di tiap pertemuan kelas? Atau kah karena doa dan barokah dari abah dan nyai pengasuh pesantren yang kami sowani?

Ada banyak faktornya. Namun yang penting, kemandirianku semakin baik kala itu, semakin betah dan terbiasa. Apalagi dengan kehadiran WiFi on 24 jam, sahabatku bermain game, aku sering asik sendiri belajar ngoding. Hebat, Entah bagaimana inisiatifku sampai seperti itu. Saking asiknya guruku pernah bilang “Wildan dan laptop seperti satu hati, kalau diputus hilang nyawanya” dan memang aku selalu bawa laptop kemanapun aku membawa tas, sebuah kepribadian awal yang aku sukai dan gak pernah padam. Ditambah lagi, sahabatku yang suka jaim, mengarahkan mentalku yang serba polos, suka mencari kesempatan dikala kesempitan bahkan melanggar peraturan asal tidak ketahuan. Aku sangat masih bisa merasakan jasa sahabat dan teman yang berada disekitarku saat itu, bahkan untuk semua kegiatan pondok yang sangat membebani, meski sudah hilang semua ingatan ku bernadhom namun satu hal yang tidak pernah aku lupakan, ialah berkat mondok aku dapat membaca Al-qur’an tanpa patah-patah. Itu jasa yang tiada harganya bagiku.

Tahun 2014 berlanjut. Kelas regular di yayasan yang sama. Awalnya kecewa memang karena tidak lagi masuk kelas “akselerasi” namun setelah mengerti aku benar-benar harus sujud syukur masuk kelas biasa dan bisa berkecimpung di ranah Prodistik. Prodistik ini unik, seperti tiap tahun ada perlombaan baru yang menguras pendanaan sekolah. Mulai dari poster hingga robotika semuanya harus diikuti. Aku dan Bu Idho, guruku yang sering menghandle prodistik sudah seperti rekan akrab, termasuk teman-teman prodistik lain, Mas Zaky, Mbak Nezya, Rikudo, Ubed dan banyak lain yang gak bisa aku sebutin satu-satu. Tidak cuman berpartisipasi, aku juga ikut andil buat belajar dan ngajarin banyak hal, baik itu Flash, Excel, Robotika maupun Android. Memang capek! Tapi sangat bermanfaat, melatih caraku bercakap agar bisa sharing ilmu tanpa sambat. Dan bagaimana aku bisa menyerap lebih cepat konsep baru daripada orang lain, aku tidak pernah tau mengapa, mungkin karena berbagi Ilmu? Anyway, itu merupakan senjata utamaku untuk berkecimpung di dunia IT lebih cepat.

Dan kehidupanku yang lain dimasa itu? Mulai banyak. Aku belajar jadi orang sibuk (dan nakal) waktu itu. Antara masuk kelas yang selalu press, sering telat hingga sering kena sanksi karena atribut seragam gak lengkap. Belum lagi mensiasati situasi hingga lepas dari pengawas “BK killer” pak Muji dan Alm. Kyai Mukhlis. Di kelas pun, tak ada hari tanpa jam kosong, disaat teman kelasku rebahan aku sendiri seperti biasa ngoding. Yang hebat disekolah menurutku adalah OSIS nya, meski aku tidak berkecimpung disana tapi aku kenal banyak teman yang berperan disana. Aku sendiri lebih tertarik ke ekstra seperti Jurnalistik. disitu aku selalu jadi tukang layout, meski simpel tapi aku pernah sampai mengorbankan waktu seminggu liburan UN kakak kelas buat nyelesaikan layout yang deadline nya gak realistis itu.

Jangan lupa keterlibatanku pada lomba. Disini, aku mungkin merupakan pioneer. Bukan berarti sombong atau apa, namun Bu Idho pun bersemangat membantuku untuk terjun ke lomba-lomba IT. Hal yang belum pernah aku dapatkan di bangku MTs sebelumnya. Di Procommit, lomba tahunan Prodistik itu, tiga tahun aku ikut andil. Awal tahun aku gagal, well bukan salahku karena poster memang hal baru, dan aku tidak tau selera juri seperti apa. Tahun kedua di media pembelajaran Flash, timku juara satu, Tahun Ketiga pemrograman Excel, juara dua. Aku perkenalkan singkat karena yang spesial bukan disitu, namun dua spin off lomba yang aku ikuti. Pertama, lomba di SMK-TI Tambakberas, meski juara I gamedev di tingkat kabupaten, disitu adalah perkenalan pertamaku dengan Mas Galih Kubat (aku tidak kenal banyak saat itu sampai masuk kuliah nanti), dan kedua, Lomba Mobile Edukasi Kemdikbud, meski cuman finalis, hal itu berkesan banyak karena lomba bergengsi Tingkat Nasional, dan tidak menyangka aku bisa menginap di hotel gratis saat itu.

Anyway, selepas semua itu 2017 is masa the best. Lulus dengan membawa nama “Tugas Akhir terbaik” dan “IP tertinggi” satu angkatan, serta oleh-oleh kain batik hijau yang masih kupakai sampai sekarang. Sedikit Intermezzo, bahkan saat sidang tugas akhir untuk mendapatkan sertif D-1 ITS itu, guru2 IT disitu berspekulasi banyak “Ya pastilah sidang e lancar pengujine anak e Idho’ dewe” wkwkkw padahal itu aja tidak disengaja karena sobat karibku Obey tukar jadwal dengan aku. Tapi ya memang, banyak tugas akhir teman-teman yang aku bantu saat itu, dengan berbagai jenis aplikasi yang mereka gunakan, aku layani semua.

Jadi, jika kamu anggap aku “demi-god IT”, jangan heran, karena pengetahuan IT ku start lebih dulu, dan ditambah terjun ke dunia Prodistik, bertemu dengan demand tinggi, pengetahuan IT ku meroket bersama soft skill belajar dan mengajarku. Ahhh kembali ke penyataanku diatas, aku harus sujud syukur atas “dilema” yang justru membawa kesuksesan.

Apakah sesudah itu ada dilema kembali? Iya, kesalahanku sendiri melihat egoku terlalu tinggi, SNMPTN dan SBMPTN ku tidak lolos ditahun itu. Mandiri? Nggak kuambil, duit yang dibakar percuma. Aku memutuskan untuk nggak ambil ribet dan menunggu nasib ke SBMPTN tahun depan. Mengisi kekosongan? Ya, sesudah wisuda, aku tetap sesekali mampir ke sekolah membantu adik kelas persiapan untuk lomba Procommit berikutnya, keseharian seperti biasa. Selain itu, aku belajar website. Akhir tahun 2017 aku beli domain wellosoft.net dan mempelajari cara kerja Domain Sampai ke SEO seolah olah aku merawatnya sendiri sejak bayi.

April 2018 mendaftar SBMPTN, mengadu nasib dengan sepatu yang solnya bahkan jebol, voila! Aku diterima di pilihan pertama, UTM!

Mahasiswa

Mereka berkata, jadi mahasiswa itu gak mudah. Yea, maksudku lihat saja dari ospek disini, kejam semua. Tahunku saja mungkin hampir setengah maba yang gak bisa mengikuti rentetan acara sepenuhnya. Aku tidak tau mereka yang bisa mengikuti sampai tuntas diisi makan apa mentalnya, tapi kalau aku, “bodoamat yang penting aku gak mati!”, sayang karena itu aku gak pernah jatuh pingsan sampai diurusin mbak-mbak sie Kesehatan wkkwk.

Semester satu seperti Maba lainnya. Masih sangat bersemangat. Mungkin termasuk “keberuntungan” atau bukan, tapi kelasku kebagian dosen killer yang rumornya pernah tidak meluluskan setengah dari kelas kakak tingkat. Menurutku? Well, sebuah kesempatan. Jurusanku Teknik Informatika. Programming adalah makananku.

Intermezzo untuk jurusan, aku dapat banyak saran dan pilihan. Teknik Informatika, Teknik Komputer, Sistem Informasi, Pendidikan Informatika, Teknik Informatika yang masuk Departemen Elektro. Heuh banyak jenisnya dan bikin pusing. Namun setelah dapat banyak informasi sampai ke silabusnya, aku paham kalau PIF untuk guru. TI masuk ke algoritma, TK masuk ke sistem dan SI masuk ke data. Setelah itu aku selalu target ke TI gak pernah ada niat banting stir ke jurusan lain.

Lanjut ke dosen “killer” ini. Aku tak tau apa aku dimata temen-temenku, tapi tiap malam kamis aku sering begadang menduplikat tugas coding ku, lalu share langsung ke grup WhatsApp dan voila, aku tak peduli apa yang mereka lakukan, toh jawabanku sendiri sudah aku bumbui dan dijamin bebas plagiasi. Aku dapat A dikelas itu dan beberapa teman lain yang “aktif” lainnya. Anyway yang perlu kamu tahu, bahkan sebelum aku masuk kuliah aku niat mencari relasi. Nilai? Mungkin penting, tapi aku gak muluk muluk, jikalau aku menggapnya demikian aku sudah bungkam dari awal, “Buat apa susah-susah? kerjakan 10 menit lalu tinggal tidur saja” Namun aku tau 10 menit aku mengerjakan itu mungkin setara dengan satu dua jam mereka mencari jawaban yang sama. Lagian, hey! Aku dapat karma baik, seperti ujian ku di mata kuliah lain dibantu mereka tanpa aku minta. Aku mengerti dari sini teamwork (dalam curang) kadang lebih penting, tanpa demikian kau mungkin tak survive tanpa benjolan (pusing) di kepala dengan matkul segitu padatnya.

Well, semua itu gak mungkin berjalan lancar tanpa sobat karibku di kelasku apalagi Prafinda, Fuad, Iffa, Rio dan classmates lainnya, mereka membantu banyak juga, atau paling tidak bikin aku peka terhadap temen. Memang menurut buku “panduan memilih teman”, beberapa orang termasuk orang yang mampir saat butuh doang, namun tidak ada yang bisa tau masa depan! menurutku teman adalah teman, asalkan aku bisa memfilter mana saat bagian baik dan buruknya mereka. Jalan mereka ya jalan mereka, tapi aku tetap tidak boleh lengah untuk apa yang aku butuhkan.

Bagaimana dengan semester 2? semester 3? Tidak banyak berubah, motifnya mirip saja, hanya saja, yes lebih banyak jangkauan relasiku. Lama-lama sampai satu angkatan, atau kakak tingkat terkadang, karena di UTM kelas gak pernah dipaket. Dirana lain juga, karena organisasi atau bekas ospek, aku sering membantu jurusan sebelah seperti SI atau Industri.

Organisasi

Keikutsertaanku pada organisasi agak kontroversial. Maksudku aku baru paham bagaimana organisasi bekerja dari masuk kuliah. Namun ditimbang dari kacamata orang, mendalami ranah organisasi lebih bermanfaat juga untuk relasi, secara jangka panjang. Dan benar saja, pengalaman pertamaku untuk acara IFAN, alias acara makrab sebagai tahap final ospek prodi, adalah jadi anggota sie PDD. Aku jadi paham proses penyusunan proker dan semacamnya. Lagipula, dari situ aku gak pernah melenceng dari sie itu wkwkwkw.

Dari perspektifku, organisasi bisa menjadi tombak berbilah dua. Yang jelas, aku gak pernah ingin berpartisipasi di organisasi eksternal atau yang ketat, PMII, HMI, BEM, atau bahkan Organda sekalipun. “Too heated”, terlalu mengikat dan terlalu berpolitik. Ingat ini bukan mengritik, hanya selera pribadiku saja yang memang gak suka untuk diatur. Himatif? Warga Lab? Organisasi yang masuk kawasan “gray” menurutku, community yang “warming”, namun tuntutan komitmennya, namun aku memilih menghindar juga. bukan karena tidak ingin, namun usaha dan tujuan tidak seimbang. Sekali lagi aku susah buat diatur.

Organisasi intra kampus, atau UKM yang aku pilih berkecimpung adalah UKMFT-ITC, yea karena diharuskan (syarat rentetan ospek) dan itu UKM yang paling populer di jurusan informatika. Kau tau mengapa Januari lalu aku mendaftar sebagai pengurus? alasan utama karena aku berhutang budi dengan Mas Bimo, alasan kedua, curious. Intermezzo, November 2018 saat dia masih menjabat sebagai Litbang aku dan tim bertiga ditemani juga dengan Mbak Sherly (juga Litbang) untuk lomba yang tidak pernah aku seriusin di Purbalingga Jateng. Kau tahu rencana official disana? Jalan-jalan. Kau tau apa yang direncanakan oleh Litbang? Hal-hal yang tak pernah aku terfikirkan sebelumnya, dari tiket kereta, makanan, motel hingga ojek. Berapa banyak uang kas dijebol? Paling parah lagi, pakai apa aku menggantinya kalau aku ternyata hanya balik dengan tangan kosong? Entah mas Bimo sadar atau tidak (aku sendiri tidak menyadari juga aku separah saat itu) tapi hal kecil inilah menurutku, sangat elemental, sesuatu yang harus aku pelajari. Saat Mas Bimo menjadi ketua umum 2019 aku positif ikut serta dalam periodenya untuk balas budi yang sepadan.

Di periode ke-2 ini, mungkin aku mundur dari organisasi, dan beralih fokus ke hal yang baru dan lebih berdampak secara personal, seperti pengurus pondok yang aku tempati sekarang dan pengurus alumni (IKAPPMAM), aku merasa ada banyak demand dan kerjaan yang harus aku tuntaskan disana. Periode selanjutnya mungkin (mungkin loh) bakal vakum total dan lebih fokus ke projek, hal yang gak pernah luput dari keseharianku….

Project

Dikacamata kebanyakan teman, aku merupakan orang sangat sibuk dengan berbagai macam projek yang aku kerjakan. Sebenarnya itu tidak muncul saja dari kesibukan kuliah ini. Namun justru jauh kebekalang, masa masa MTs. tahun 2015, aku mulai tahu bahwa aku bisa profit dari project:

Setelah setahun bergelut dengan game in-house ku sendiri, aku berpikir mau dipublish kemana? Awalnya aku bagi percuma ke website Wordpress ku, namun aku punya ide liar, mengupload file mentahnya ke Unity Asset Store, termotivasi oleh rasa penasaran. Pertama kali upload aku rasa agak ribet, harus menyesuaikan sama standar kualitas sana, tapi enaknya, bebas biaya pendaftaran gak seperti Play Store. Entah apa yang merasukiku, aset pack berisi 10 tekstur yang sebenarnya gak ada harganya aku jual 5$. Sat set sat set, April 2015 produk itu online, dan Lucky! Aku dapat 7 pembeli di bulan yang sama. High Quality, kata reviewnya. Jadi itu adalah dolar pertamaku, 35$ dipotong 30%, aku bilang kepada ayahku untuk dibuatkan akun Paypal. Tentu karena aku belum punya Rekening Bank jadi uangnya pasti mengalir ke rekening ke ayahku.

Namun 35$ dipotong 30% itu kecil, dan bulan-bulan berikutnya mungkin satu atau tiga, atau bahkan gak ada, jadi gak banyak yang bisa diharapkan. Tahun berikutnya adalah pengecualian. Setelah selesai dengan lomba Kemdikbud aku ingin membuat media edukasi lagi namun tidak ada ekstensi (bahkan yang berbayar) yang membuat rumus matematika secara realtime, jadi aku buat sendiri dengan algo yang dijiplak dari projek lain aku cari diinternet. Januari 2016 meluncur dengan label TEXDraw dibadrol seharga 15$. Dan diluar dugaanku, cukup laris! Banyak orang asing mengirim email, aku jadi aktif di forum. Mereka menginginkan banyak sekali fitur tambahan. Sejak saat itu banyak waktu aku curahkan untuk TEXDraw, merangkak dari 15$ hingga 50$ harga sekarang.

TEXDraw adalah pioneer bagiku. Meski bahkan aku meluncurkan produk tambahan seperti Engine4 dan Camera Projecter, TEXDraw masih menyumbangkan lebih dari 50% profit dari total produk di Asset Store untuk keluargaku. Dan yap, dari maksud “keluargaku” adalah dana itu benar-benar tidak masuk ke dompetku. 100% dikelola oleh ayahku sendiri, dan dana itu cukup besar! Tiap bulan seminim-minimnya penghasilan adalah 100$, musim biasa biasa di angka 200$ atau 300$. Kalau saat musim promosi bisa sampai 400$ atau bahkan 700$ dalam satu bulan. Total kumulasi dari 2016 hingga sekarang? Tembus diatas 10K US$, alias diatas 100 juta, dan aku masih mengganggapnya “uang tambahan”, uang tambahan yang sangat membantu ekonomi. Beruntung sekali orang tuaku cukup bijak, meski uang itu tidak disimpan, cukup digunakan untuk bayar hutang dulu dan selebihnya diinvestasikan untuk sekolah PAUD yang orang tuaku rintis sendiri sejak aku kecil.

Saat masa vakum, aku masih bebal. Kau tahu kenapa aku vakum? Bukan karena orang tuaku tidak mampu, apalagi dengan salary sebesar itu, sangat mampu sekali. Orangtuaku memberikan opsi, namun aku tak mengambilnya. UTM adalah Universitas Negeri dengan biaya mandiri termurah, tapi bisakah dengan kuliah saat itu juga, kembalikan uang 15 juta yang raup entah kemana? Tidak mungkin terjadi dalam satu tahun. Jadi lebih bijak kataku untuk menunggu satu tahun. It’s okey, lagipula aku sudah memperpendek satu tahun lewat kelas Akselerasi masa MTs!

Saat aku vakum, aku sering main sama teman yang juga belum kuliah saat itu, Rifqi, Mas Zaki, dan beberapa lainnya. Mereka punya cara mereka sendiri mengisi waktu kosong. Aku? Lumayan banyak. Meski bebas dan mempunyai banyak waktu luang, aku tetap sibuk. Aku sibuk dengan domain baruku, sambil belajar website, karena bisnis lama masih berjalan. Aku ingin tampilan profesional saat itu. Diatas itu juga aku ingin tahu apa sih next pioneer asset yang bisa menandingi TEXDraw?

To-do list ku saat itu cukup banyak, dan benar, bahkan sampai lanjutan SBM tiba aku masih bergelut dengan upgrade projek, dan belum ketemu sama ide next pioneer projek. It’s okey anyway karena saat perkuliahan melanda, ternyata tantanganku lebih besar..

Apa yang disemester satu aku lakukan? Tidak lebih dari mengikuti lomba. Saat itu satu-satunya hal yang aku pikir profit dari kuliah. Namun lomba kali ini berbeda dengan yang biasa aku ikuti, seperti lomba adu ide, dan aku tau otakku paling buruk kalau bikin ide yang bagus (lihat saja tahun kemarin). Tiga kali ikut kompetisi programming? Tiga kali gagal juga. frustasi terkadang.

Tapi hal seperti itu tidak sepenting dari pelajaran teamwork, yang justru mengarahku ke jenis karir yang baru. Aku, Mas Suluh dan Mas Ain. Kami bertiga bertemu untuk lomba yang sekali lagi, gagal meski mencapai final, itu perlombaan yang terakhir untuk pemulaan yang lebih besar: Januari 2019, selepas lomba kami bertiga “iseng” ambil project website (yeah, beruntung aku sempat vakum untuk belajar itu!) dari dosen yang tahu-tidak menahu kami kerjakan selama 4 bulan sampai kita perlu nambah bantuan dari Mas Faishol dan dibayar in cash 5 juta untuk tim. Benar-benar tidak mudah, tapi itu adalah gerbang pertamaku untuk bekerja secara professional. Anyway, project itu sangat worth-it untuk relasi dan cash baru.

April 2019, sebentar setelah project itu selesai, project lain memanggil. Kali ini ada woro-woro dari LPPM UTM mencari mahasiswa yang pas untuk magang karena mereka butuh bantuan tangan. Yeah, beruntung lagi meski mereka cuman memilih satu, aku yang terpilih. Disini, aku dapat relasi baru dengan pak Alfian. Pak Alfian memberitahuku banyak hal tentang sistem yang bekerja di UTM, hal penting yang pastilah berguna suatu saat nanti. Meanwhile, kontrakku dengan LPPM berjalan sampai Desember ini, dan tidak lebih dari stay di kantor (sebebas aku), memperbaiki template jurnal dan jadi PDD di beberapa agenda. Yet, bayarannya sampai menutupi UKT 3 juta semester 3 ditambah Fasilitas LPPM yang nyaman sekali aku nikmati.

Oktober 2019, aku merasa panggilan di LPPM telah usai secara tidak langsung. Just setelah itu, Mbak Rizka, rekan yang aku kenal hasil dari projek 5 juta itu, saat itu dia sedang mencari kandidat yang bisa dipercaya untuk magang di LP3MP, dan coba tebak, aku beruntung lagi, dia tidak kenal lain yang lebih cocok daripada aku, jadi yeah, relasi baru. pekerjaanku di LP3MP tidak jauh berbeda sih, namun dituntut sangat lebih disiplin. “mas buatkan desain… besok bisa jadi ya?” Gila, tapi seru. Aku belajar bahwa orang dibayar mahal untuk bisa dipercaya melakukan sesuatu yang impossible menurut orang lain. Dan tentu saja, LP3MP memang tidak membuat kontrak seperti LPPM kemarin, namun bayaranku selama itu cukup menutupi UKT ku.. lagi, bahkan lebih!

Liburan ini, masih ada lagi baby project yang sedang mekar. Aku, Julius, Ivan, Denaya. Kita berempat merupakan tim tersakiti dengan tidak lolos di Gemastik padahal eksekusinya sudah sangat bagus (yeah, salahku juga memilih judul yang buruk). Namun justru karena itu, komitmen kami masih belum padam. Aku dan Julius sering debat untuk merintis bisnis startup apa yang cocok dieksekusi setelah tragedi itu, dan tidak lama kemudian, muncul ide trudigi.id. Ide yang cukup brilian dan sangat seru (aka. susah) untuk dieksekusi. Banyak hal yang perlu aku benahi disitu sebelum target launching datang, dan itu banyak merenggut waktu liburanku. But yeah, aku merasa sangat worth it. Trudigi adalah inisiatif yang tidak pernah dilakukan sebelumnya.

Di penghujung tahun, ada satu projek lagi yang ingin aku selesaikan, yakni menulis artikel ini.

Filosofi

Dari cerita panjang itu, apakah ada intisari yang bisa kau tangkap? It’s okay juga bila tidak. Aku bahkan berharap kamu tak membaca seutuhnya, karena itu ceritaku. Aku tidak bilang kalau ceritaku unggul dibanding yang lain. Tidak berniat begitu sama sekali. Aku percaya bahwa ceritaku itu tidak sepenting ceritamu dan masih banyak sekali cerita orang-orang seumuranku yang jauh lebih hebat.

Bertolak belakang dengan anggapan orang, Aku bukan sepenuhnya orang baik. Aku malas dan egois dengan caraku sendiri. Sikapku adalah identitasku. Aku tak peduli anggapan pribadi orang. Aku tak pernah berdebat masalah penampilan, hanya selalu khawatir dengan tanggung jawab. Itu juga mengapa aku selalu menghindar dari tanggung jawab yang gak penting di kehidupanku. My life is my identity, dan aku ingin kehidupanku gak ribet.

Budget

Masalah dengan spending budget, aku gak pernah berpikir dua kali. Makanan pas kuliah selalu beli, juga peralatan lain, selalu kuusahakan lengkap beli sendiri. Kau bisa bilang aku boros, mungkin dihadapan orang lain gitu, namun aku hanya beli yang benar-benar aku butuhkan. Contoh, aku punya laptop yang berumur 2 tahun. Upgrade lagi? Tidak perlu, toh meski aku punya uang buat beli ROG dan kawan2, laptop lamaku masih bekerja dengan baik meski dengan kondisi keyboard rusak (aku pakai eksternal dan itu lebih nyaman). Sama dengan sepatu, sepatuku bahkan solnya sering lepas. Beli lagi? Buat apa, toh dilem pakai lem kuat masih bisa. HP? HP ku Blackview, karena anti pecah, walau kamera jelek aku gak butuh hp kedua. Aku ingat prinsip tu semua, juga dari dosenku. Beliau bilang, It’s okey beli barang mahal dan boros, asalkan awet dan menghemat waktu. Demikian justru dompetpun bakal awet dalam jangka waktu panjang.

Aku begitu, karena sudah terbiasa dengan keadaan seadanya pas dulu. Laptop RAM 2 GB buat mainin Unity dan Visual Studio, kuat. Aku gila sama optimisasi laptop jaman itu. Aku bisa saja komplain namun sikapku dari kecil memang pendiam atau suka menerima keadaan, dan benefitnya well terasa sekali sekarang, aku gak pernah menyesal. Sekarang mungkin agak berubah, karenaku ingat dari buku Merry Riana, daripada berusaha untuk hemat, jauh lebih baik menambah omset alias pendapatan. Itu adalah goal dari apa yang aku lakukan sekarang, semakin banyak omset semakin bebas dan efisien aku dari belenggu tanggung jawab yang gak penting.

Dan perihal omset, kau tahu yang James Altucher bilang? “Reinvent Yourself”, atau selalu temukan versi lebih baik dari dirimu. James bilang kita harus “reinvent” tiap 4-5 tahun sekali, dan benar saja, 2015 aku punya sumber budget dari penjualan Asset Store. 2019 aku punya sumber budget lagi dari projek-projek yang aku terima selama mengembangkan karir di UTM. Aku sempat berpikir, bagaimana untuk sumber ketiga? Aku belum tahu persis apa yang terjadi di 2024 (-ish), namun aku sedang belajar microcontroller, yang barangkali aku bisa buat untuk membangun industri Hardware di negeri ini. Mungkin saja!

Konflik

Bicara tentang menyesal, aku ingat pepatah, kesalahan bukan milik siapapun. Tidak peduli aku anggota atau ketua, satu keping kesalahan dari setiap proker atau agenda merupakan kesalahan semua pihak yang terlibat, bukan menyalahkan individu tertentu. Ini juga berarti, setiap orang pasti punya kesempatan yang sama untuk berbuat, tidak peduli ketua ataupun anggota. Bahkan dipandanganku, itu semua hanyalah sebutan formal. Kita semua tetaplah manusia dengan tugasnya sendiri-sendiri.

Bagaimana dengan teamwork? Masalah itu, Aku belajar banyak sejak masuk kuliah. Awalnya aku mengira karena aku tahu, maka lebih cepat jika semuanya aku kerjakan sendiri. Programming is complicated, I know. Namun sekarang tidak. Untuk project yang fleksibel, aku lebih suka kerja teamwork, dan menginventasi waktu kecil untuk mengajari anggota tim bagian yang mereka kerjakan. Bagianku? Selalu bagian yang paling sulit. It’s okey karena aku suka bagian yang seru (sulit), untuk bagian lain yang mudah atau repetitif aku salurkan ke teammate. Dengan cara ini, aku puas, tidak terlalu berat, yang lain merasa berkontribusi, project yang besar pun bisa ditaklukkan dengan mudah dan efisien.

Teknik seperti itu aku terapkan di banyak hal mulai dari tugas kelompok hingga project berbudget jutaan. Aku saat menjadi leader, memang selalu melihat pembagian job dari kemampuan seseorang. It’s okey jika apa yang mereka kerjakan tidak benar, sering kali aku kasih saran, atau aku koreksi sendiri tergantung mana yang efisien. Aku selalu buang jauh-jauh yang namanya kritik dan adu mulut, karena itu buang waktu. Kebanyakan dari kalian yang pernah berorganisasi pasti menerapkan hal yang sama jadi aku gak perlu menjelaskan panjang soal efek dan klausanya.

Situasi ini berbalik arah, jika kamu berada disituasi dimana ada seseorang yang lebih berwenang atas suatu hal, dan kewenangan itu berefek padamu atau suatu kelompok yang kamu terlibat didalamnya. Itulah gunanya demokrasi, alias setiap orang punya hak untuk mempunyai pilihan. Dan untuk aku, pilihannya ialah: terlibat atau mundur.

Ya, memang sesederhana itu aku. Tidak ada kata melawan dalam kamusku, karena bermusuhan itu ribet dan hanya bikin malapetaka. Dan akan aku kasih tau satu hal, bahwa konsep ini ternyata penting, dan aku pahami bahkan diluar pembahasan politik yang suka huru hara baik politik dikampus maupun diluar itu.

Yea, aku camkan itu bahkan sejak peristiwa 2 tahun lalu, sangat menggelitik telingaku. Entah siapa yang mengoreksi file ku di SMN maupun SBM itu, mereka tak pernah paham gimana rasanya 2 kali juara lomba ITS dan menaruh harapan untuk masuk kampus itu dan ternyata semuanya hanya harapan palsu. Begitu pula, mendaftar banyak beasiswa luar yang ternyata tidak tembus sama sekali. Atau hey, lomba. Itu juga salah satu hal yang tak bisa aku kontrol seribet masalah perpolitikan.

Masalah masalah seperti itu, jika aku berhadapan dengan situasi seperti, aku akan mundur saja, karena menggantungkan pada hal yang tak bisa kau kontrol, hanya akan melukai pikiran dan mentalmu.

Tapi ingat, mundur bukan berarti pasrah dan putus asa. Ada banyak jalan lain yang bisa ditempuh tanpa menggantungkan hidup ke orang-orang yang tak peduli denganmu. Contoh, di perkuliahan aku justru lebih suka mencari pemasukan baru untuk bayar UKT langsung kerja dari keringat sendiri, gak mikir ribet dengan pengajuan beasiswa ini dan itu. Itu contoh kecil saja, aku masih punya banyak contoh lain yang terlalu panjang jika diceritakan.

Mental

Bicara tentang kehidupan memang gak pernah bisa habis. Yea aku tahu itu, namun setelah mencerna ceritaku, filosofiku dan caraku mengurai konflik, kau tau mengapa aku suka terlibat di bagian itu semuanya?

Seperti pepatah bilang, kita hidup untuk membuat hidup kita berarti. Dunia ini luas, ada banyak waktu untuk kita jelajahi. Jika nenek moyang kita nomaden, kenapa kita sangat nyaman untuk diam saja memandangi kehidupan?

Hidup menurutku, tidak cuman sekolah, kuliah, lulus, kerja, punya rumah tangga lalu pensiun. Hidup aman seperti itu justru sangat merugikan menurutku. Buat apa hidup kalau cuman buat untuk mencukupi diri sendiri atau segelintir orang saja? Kita adalah makhluk sosial, dan berbagi adalah kunci dari kehidupan sosial. Dan, agar kita bisa berbagi kita harus punya sesuatu yang lebih dari kita miliki dan itu berguna untuk orang lain.

Itulah mengapa, aku suka hal baru tiap hari. Karena itu pengetahuan, dan pengetahuan bisa dibagi tanpa mengurai yang aku punya. Jika pengetahuan tercukupi, kita tidak akan takut akan tantangan baru. Mengapa? Karena kita tahu cara menyelesaikannya.

Aku kasih tau satu hal, mengapa aku tak pernah berhenti dengan project, karena disitulah aku belajar. Belajar menghadapi klien, deadline, dan tim secara bermasaan. Meski demikian, aku juga manusia, sok tahu meski sering khawatir juga dengan hasil. Saat aku takut dengan kualitas yang aku hasilkan dari usahaku jauh dari bagus, aku selalu ingat kata ayahku, semuanya harus sesuai prosedur. Apa maksudnya? Artinya meski menurut kita belum siap, minimal kita harus sesuai dengan apa yang orang harap. Ini menuntut kita agar disipin.

Disiplin menurutku bukan masalah personal seperti jam bangun tidur, gak telat dan lain sebagainya, namun cara kita memenuhi ekpetasi orang terhadap itu, baik dari segi kualitas dan waktu. Dan itu penting, karena memperkuat kepercayaan orang terhadap kita. Nama kita adalah brand kita sendiri. Kualitas brand kita mempengaruhi kualitas relasi kita, dimanapun kita berada. Jika kita serius maka orang lain juga mengganggap kita serius, bertanggung jawab, atau hal lain semacamnya.

Saat aku mencari relasi, aku selalu ingat, bahwa harus ada timbal balik yang kita siapkan. Kebanyakan ialah dalam bentuk pengetahuan, atau upah jika aku serius. Bagaimana kalau timbal balik terhadapku? Ini yang menarik. Kebanyakan aku tidak bilang, kenapa? Karena aku yakin karma bekerja disini. Ini adalah feedback loop, orang bilang mungkin aku suka ngebantu orang dan dapat diandalkan. Dan iya, lama-kelamaan hal itu menjadi kabar burung yang viral dan banyak orang yang akhirnya mencariku.

Aku merasa… Jadi orang penting? Aku tahu dari sekian orang pasti ada orang lain juga toxic, memanfaatkan situasi melalui kabar burung, golongan orang-orang yang “mampir karena cuman butuh”. Aku tahu itu, namun aku tak suka berburuk sangka siapa dan siapa. Caraku ialah, aku membatasi diriku sendiri untuk “publik service” entah membatasi jam maupun tempat. Cara yang kuterapkan ini, bukan bermaksud buatku pelit, namun aku punya hak untuk waktuku sendiri, dan untuk orang yang mengejarku, juga perlu pemahaman, bahwa tidak perlu kita bekerja untuk orang lain, nilai, gelar atau apalah sampai diluar batas kewajaran. Takut untuk gagal adalah fenomena yang fatal namun sering sekali aku amati.

Efisiensi

Sering kali aku mengerjakan 3 atau 4 projek dalam bersamaan, yet secara penampilan, orang orang menganggap aku orang santuy. Ini hanyalah masalah proritas dan efisiensi. Jika ada banyak tugas menumpuk, biasanya aku hanya mengerjakan tugas yang penting dan mendadak. Tidak penting namun mendadak? Copas dari internet. Penting namun tidak mendadak? Lempar ke orang lain. Tidak penting dan tidak mendadak? Lupakan.

Aku bukan orang rajin yang bisa mengerjakan semua hal yang penting dan tidak penting, karena waktu sangat terbatas. Maka dari itu aku bilang, aku suka malas dengan caraku sendiri. Dan juga, aku sering ingat rule 20-80, yakni hanya sekitar 20% persen pengerjaan itu penting, selebihnya hanya masalah aestetik dan perfeksionis, lupakan jika tidak diperlukan.

Ingat, pembagian waktu adalah hakmu. Jangan dibutakan oleh banyaknya tugas dan tanggung jawab yang melanda. Takut akan kualitas itu boleh tapi jangan sampai mengorbankan kesehatan, seperti tidur. Aku jarang sekali mau bekerja shift malam sampai subuh, karena pasti hanya merusak ritme tidur dan merugikan jam produktifku.

Bagaimana dengan istilah “mager”? Dalam kamusku, malas gerak aku artikan sebagai, tidak mau kemana-mana. Ini bukan berarti aku tidak mau ngapa-ngapain, hanya melakukan apa yang aku suka, didepan laptop atau hal lain yang aku sukai. Tidak kemana-mana juga menghemat waktu produktifku, memutuskan koneksi dari dunia luar dan melakukan apa yang aku anggap penting menurutku.

Future

Jika state-of-present-mu sudah tertata. Akankah kau ingin mengintip rahasia ilahi, dan mengatakan, bahwa masa depanmu akan aman?

Aku sempat berpikir, apa rencana masa depan yang sesuai untukku? Villa mewah untuk keluarga, mungkin?

Percaya atau tidak, harta dunia bukanlah tujuan akhirku. Iya, sekarang memang aku mencari relasi dan uang seperti mau hidup selama ribuan tahun, tapi tujuanku bukan untuk simpanan dana pensiun, justru aku ingin pensiunan yang sederhana saja. Rumah yang bercukupan di selubungi oleh keluarga yang bahagia, dan meninggalkan wasiat tanpa harta agar anak cucu tahu, harta bukan segampang anak sultan pamerkan, atau dengan kata lain, agar mereka juga bisa berkembang mandiri seperti aku.

Lalu untuk apa jutaan (atau bahkan milyaran mungkin) uang yang aku kumpulkan? Tidak jauh seperti Bill Gates, atau Elon Musk. Aku rencanakan untuk mencari relasi yang lebih jauh lagi, membangun industri untuk negeri, berkenalan dengan profesional hebat, hingga membangun foundation untuk membantu ribuan atau jutaan umat yang kurang beruntung.

Itu adalah to-do list yang sangat ingin aku coret, hanya saja jauh sekali dibawah. Mari kita fokus ke tantangan nomor 1 yang ada didepan mata: dengan siapa aku akan memberikan komitmen sehidup-semati (aka. jodoh) untuk berbagi hidup dikemudian hari nanti?

Kau boleh saja tak percaya, namun aku tak pernah peduli dan tak akan berpikir dua kali akan hal itu hingga posisiku karirku benar-benar sudah cukup tinggi, atau lebih spesifik, setelah S3. Mengapa? Karena berbagi komitmen itu susah. Aku yakin meningkatkan karir dan berbagi kehidupan disaat sama itu sangat susah, atau bahkan mustahil.

“Wildan, bagaimana kalau kamu cari saja partner hidup-matimu sekarang dan berkomitmen sejak itu agar kalian berdua terlatih dan tidak menyesal nantinya?”

Ide yang sangat buruk. Pacar, teman rasa pacar, taarufan rasa teman rasa pacar, sama saja idenya. Buruk, karena cewek butuh pernyataan komitmen dalam bentuk bukti, bukan janji dalam bentuk status WA, sajak-sajak, atau bahkan artikel panjang seperti ini. Dan komitmen dalam arti bukti itu bukan bertahan selama bertahun-tahun, namun cukup dengan pamit ke orang tuanya untuk ke pergi ke KUA bersama. Udah sesimpel itu, dan guaranteed bebas ribet, tidak membuang waktu dan tenaga dalam mengejar jawaban atas dilema “apakah dia untukku?” yang sudah dilukiskan di ratusan lagu galau se-antero Indonesia. Percayalah. Lagipula aku lebih suka mengorbankan satu orang yang masih “mungkin” jadi partner daripada seluruh karirku guaraanted untuk collapse karena satu orang.

NB: aku bukan bermaksud mendorong untuk memutus hubungan tidak resmi kalian yang dibina hubungan sudah lama (jika ada), ingat ini hanyalah apa yang ada pikiranku, yang MENURUTKU benar, jangan pernah ditelan mentah-mentah.

Closing

Last but not least. Inilah apa yang ada didalam pikirkanku, midsetku sendiri yang mencerminkan identitasku. Dari sekian panjangnya kata yang kurangkai, semua tidak lebih dari sebuah usaha yang, aku yang dipercayai di mata relasi profesional, aku yang menghibur dan memotivasi dimata teman dan rekan, aku yang melindungi dimata keluarga dan orang-orang yang aku cintai.

Mungkin menarik untuk kalian jika aku sangat jarang menyertakan prinsip tuhan disetiap artikel ku. Aku bukan atheis atau apa, hanya ingin artikel ini menjadi netral dan bisa dikonsumsi oleh banyak orang dengan background spiritual yang berbeda-beda. Aku selalu bersyukur bahwa Tuhan masih memberikanku kesempatan berliterasi hingga detik ini. Dan semoga kalian juga, pembaca setia artikelku dapat mengambil intisari dari apa yang aku tulis sejak 2014.


Well, itulah aku, dan aku tak bisa bersyukur sampai detik ini tanpa banyak orang-orang yang andil dibelakangku. Behind a great man there’s always another great man. Semua orang yang aku sebutkan namanya diatas merupakan orang-orang yang tanpa aku sadari, sangat berjasa untuk kelanjutan karirku selama ini. Terima kasih banyak untuk satu dekade ini!

Dan untuk orang tuaku sendiri, meskipun aku yakin mereka tidak akan pernah tahu artikel ini dan sebelum-sebelumnya, mungkin juga tidak akan pernah tau bagaimana prosesnya hingga anak buahnya menjadi sekian rumit ini, aku tetap menghargai sampai detik ini menasehatiku tiap kali aku berbalik arah. Mereka berdua yang paling berjasa untukku selamanya. Atas perjuangan mereka aku ucapkan banyak terima kasih yang tak terhingga!

Dan kamu, ya kamu, pembaca setia artikel ini. Terimakasih juga, telah membangkitkan semangat literasiku sejak 2014. Entah apa kamu bisa memetik intisari dari artikel ini dan sebelum-sebelumnya. Aku hanya ingin menunjukkan bahwa, dalam satu dekade ini aku banyak berubah, dan secara perlahan, atau apa titik kesalahan dan kelemahanku, dan membagi hal itu semoga kalian yang membaca tidak akan jatuh ke perangkap yang sama. Aku ucapkan pada kalian, terimakasih banyak juga!


Sekian dan aku tutup, seri artikel seri filosofi yang aku curahkan untuk satu dekade ini. Aku tahu, mungkin kalian akan bersedih atau rindu jika aku memutuskan untuk menyelesaikan bagian memo ini sampai artikel ini saja. Yea, memang demikian. Selebihnya aku tidak akan meneruskan memo ini, namun lebih ke blog sebelah yang lebih membahas tentang strategi dan ide. Aku demikian karena aku tak ingin selamanya jadi tape rusak yang selalu memutar film lama. Kamu bisa lihat arsip memo-ku yang lebih lama jika kau masih belum merasa puas.

Artikel ini, adalah persembahanku, feedback loop, ringkasan atas semua orang yang pernah terlibat dalam satu dekade ini. Aku juga terdorong motivasi untuk kalian yang sedang membutuhkan motivasi, atau termotivasi “bagaimana menjadi seseorang yang seberuntung Wildan?”. Padahal aku bukan Jedi, hanyalah manusia biasa dari segumpal darah sama seperti kalian. Aku tidak ingin kalian justru menjadi depresi karena bagaimana jauhnya pengalamanku sekarang, kau hanya perlu ingat, berbagi ialah kekuatannya, bahkan berbagi literasi seperti ini, sangat membantu mentalku tajam kembali. Aku ingin, saat kalian selesai membaca ini, memutar kembali otak, melihat kembali apa saja kenangan bagus di mata kalian di dekade ini.

Tak perlu sungkan juga, jika kau ingin membuat hal yang sama seperti artikel ini dan meminta pendapatku apa tujuanmu selanjutnya, karena aku sangat suka membaca biografi seseorang yang pernah aku jumpai dengan mata kepalaku sendiri lebih dari aku membaca biografi Aristoteles.

Adios, Sampai Jumpa 2019.