Semester kedua baru saja dimulai. Ini minggu keduaku. Dan aku yakin, ini lebih gila dari semester sebelumnya.

Meski masih tidak berefek padaku, maksudku, tentu tidak terlalu sulit untuk memahami pelajaran di Informatika ini – karena itu hobiku. Bahkan jika memang aku tidak tahu konsep yang diajarkan, maka tinggal beberapa googling dan referensi dari internet, aku bisa mengerti materi itu dalam hitungan menit.

Sejujurnya. Hanyalah itu kelebihanku. 10000+ Hours of coding, sepenuhnya otodidak, dan hingga saat ini aku masih suka belajar hal baru secara mandiri. Dan aku berada disini, ditengah bangku-bangku perkuliahan, duduk manis, menatapi dosen killer mengajar di kelas. Bukannya takut atau pusing, aku malah tertawa kecil dan memasang wajah nyengir dihati, karena terkadang materi itu mengingatkanku bagaimana gregetnya memahami konsep itu, dua atau tiga tahun yang lalu sewaktu aku membutuhkannya untuk melanjutkan proyek ku yang penuh ambisi dan keingintahuan.

Namun saat ini, bukan itu aku pikirkan, bukan itu yang aku khawatirkan. Karena disebelah kanan dan kiriku, terdapat orang – temanku sendiri, mungkin tidak bisa mencerna materi itu dengan cepat. Aku heran, namun mengangguk takzim, mungkin aku bisa membantu mereka – Maksudku, aku tahu dalam hal ini, aku lebih berpengalaman. Tidak ada salahnya pula untuk menginvest untuk orang lain, membantu dan menjalin relasi yang lebih banyak, karena aku yakin akan membutuhkan mereka pula nantinya, sekeras aku percaya pada karma baik dibalas oleh karma baik.

Namun, menitik dari masa lalu, semester lalu, dan pengalaman yang lalu. Jelas-jelas masalah ini menjadi lebih serius dari yang aku kira.

Shenaningas, Tekad Berguncang tiada henti.

Orang-orang mungkin mengganggapku sebagai master, guru atau apalah, menilik dari… bahwa aku tahu banyak tentang masalah IT, mampu menyelesaikan masalah mereka dengan langkah 1..2..3, dan aku pun mampu belajar tentang IT dalam waktu singkat. Namun percayalah, aku hanya manusia biasa, dan aku tak mempunyai rahasia atau apalah yang membuatku unik.

Sungguh, tak ada teknik khusus belajar dariku daripada aku memang sudah tau konsep-konsep tersebut itu dari awal, seberapa ambisius aku mempelajarinya, dan membayangkan seberapa penting mempelajarinya untuk keberhasilan projek IT ku yang sedang aku kerjakan – Begitu siklus itu berjalan hingga puluhan, mungkin ratusan projek kecil hingga ratusan ribu baris koding sudah aku luapkan dalam 10000+ jam praktik – jangka waktu takaran yang cukup untuk seseorang menjadi ‘master’ dalam mendalami skill apapun.

Menurutku, jika aku saat sekecil itu, umur 12 tahun, mengganggap programming menjadi mainan pengasah otak yang seru, mengapa yang lain, mereka yang duduk disebelahku tidak? Aku akui memang, dipaksa untuk belajar adalah metode terburuk untuk sistem edukasi yang sudah berjalan ratusan tahun, apalagi ditakuti oleh dosen-dosen killer yang menuntut untuk bisa secara eksak, apakah mereka akan sanggup melakukannya?

Lagipula masalah ini tentu bisa lebih parah. Aduhai, maksudku lihatlah mereka yang mengira salah jurusan – pikiran mereka penuh akan penyesalan masuk mendalami IT. Begitu mereka selesai dengan penyesalan mereka, tentu beberapa tahun kemudian mereka dipontang-panting oleh mau jadi apa aku nanti?. Namun sayang, pukulan itu masih belum cukup, karena aku lihat ada pula dari mereka, yang mempunyai keterbatasan pemahaman, keterbatasan ekonomi, atau bahkan keterbatasan mental – mereka yang sulit menerima istilah dan konsep baru, mereka yang kapasitas laptop yang cukup mengenaskan, mereka yang pupus, buntu, pasrah terhadap detik-detik jatuh tempo tugas yang diberikan. Dan… Aduhai, aku tak tega membahasnya lebih jauh.

Ini adalah fakta yang nyata namun mengenaskan – manusia pada umumnya terlalu sibuk pada bahkan satu persen kegagalan, mengabaikan 99% perjalanan yang membawa mereka kemari. Mereka lupa perjuangan mereka disini, telah melumpuhkan 90% lebih calon pendaftar demi mereka yang lolos. Dan hey, ini adalah dunia perkuliahan, dunia pendidikan – Dunia yang bebas masalah politik, ekonomi, dan pekerjaan – Agar diri kalian siap menghadapi dunia luar yang kejam. Sayang sekali beberapa orang memang tak bisa memisahkan masalah pribadi mereka murni untuk pendidikan, namun apalah daya. Tidak semua orang mempunyai kesempatan yang setara. Maklum, aku paham akan soal itu.

Dan sepatutnya, mereka yang tidak mempunyai masalah-masalah diatas – haruslah turun tangan membantu. Aku termasuk salah satunya, namun pertanyaannya, apakah aku bisa?

Aku atau Kamu

Sejak hari pertama aku melayani mereka yang ingin belajar denganku. Maksudku, aku bukan dosen, namun bisa menjadi selingan teman belajar yang baik. Deskop, Web, Mobile, aku pernah menjejahi dunia tersebut dengan berbagai macam bahasa, mereka bisa menanyakan kapanpun mereka mau. Namun aku mengerti, mereka tak akan bertanya sejauh itu. Desakan tugas kuliah membatasi gerak geriknya secara bebas. Pikiran mereka sudah cukup penuh akan hal itu.

Lagipula, mereka mempunyai masalah serius, yakni Kendala Bahasa. Ribuan kali aku telah Google sana sini, mengerti istilah ini dan itu, terimakasih berkat skill bahasa inggris ku yang kuat, aku bisa leluasa mencari referensi IT langsung ke sumbernya. Sayangnya ini tidak berguna bagi mereka yang tutup mata untuk materi berbahasa inggris, mengganggap mereka adalah bahasa Alien yang susah dipahami. Kau tahu, 99% pertanyaan mereka lontarkan padaku, semuanya bisa dijangkau di Google, dengan satu query yang simpel, yang hanya membutuhkan beberapa detik untuk mencarinya. Namun karena bahasa, beberapa detik itu omong-kosong, aku bersusah payah menjelaskan masalah-masalah sederhana mereka. Beberapa detik dibayar dengan beberapa jam hanya karena mereka buta bacaan inggris. Miris dan menggelikan.

Yang kedua, ialah Kendala Minat. Mereka tidak seperti aku dengan segala kesibukan proyek kecilku sendiri. Mereka blank, pasif. Apa yang tidak diperintahkan oleh dosen, maka mereka tidak akan mengerjakannya. Aku mau belajar web, tapi mereka tidak tau web seperti apa yang mereka buat. Haruskah aku menuntun mereka setiap langkah? Menuntun mereka seperti orang tua renta yang tersesat dijalan? Tidak seru rasanya kalau menatap tatakan yang sama, karena IT membutuhkan kreativitas dan logika yang matang. Lagipula kreasi mereka pun pudar jika demikian, tapi apalah daya jika mereka tak punya gambaran, karena itu bukan kehendak murni dari mereka sendiri?

Yang ketiga dan yang paling mengenaskan, Kendala Sumberdaya. Aku sudah bilang, ini adalah dunia pendidikan. Idealnya kita harus menyingkirkan segala unsur pelik didunia ini, ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Aku tahu banyak temanku yang spek nya mengenaskan disini, atau bahkan tidak mempunyai laptop – Sebagai contoh, lihat, berapa waktu yang terbuang demi menunggu spek laptop mereka yang lemot. Aku menyarankan mereka untuk memasang RAM, satu-satunya cara jitu mengatasi masalah tersebut. Namun terkendala masalah ekonomi? Menabung? Ahh aku pengen menjitak kepalanya. Jangan pernah mengurungkan niat belajar hanya karena terbataskan oleh ekonomi, itu slogan yang selalu aku pegang. Tidak ada uang? Kenapa tidak pinjam?. Tidak ada laptop? Kenapa tidak sering-sering ke lab?. Tidak ada software di komputer itu? Kenapa tidak sediakan FD portabel untuk itu?…. Dan bla bla bla. Sungguh aku dulu lebih mengenaskan daripada kalian. Dan itu nyata, tidak ada yang bisa menutup rasa keingintahuan sepertiku dulu. Sabar adalah mahakunci dari segalanya.

Mencari. Jati. Diri.

Dan PR seumur hidupku, aku ingin tahu, lebih dari yang lain, bahwa… Bagaimana aku bisa sampai secepat ini?

Diriku, aku mengganggap diriku sebagai unik, maka aku tak boleh menyianyiakan kesempatan ini. Pujian, maksudku rasa terimakasih mereka yang setelah aku membantu mereka – Itu adalah sarapan untuk emosinalku – Aku sejujurnya sangat menghargai itu, meskipun harus dibayar mahal, karena aku membutuhkannya. Sebagai indikator bahwa aku adalah unik, bermanfaat, dan tak boleh menyianyiakan kesempatan ini untuk mengejar sesuatu yang lebih gemilang.

Namun miris pula, aku tahu, disaat aku sibuk memikirkan berbagai puluhan cara, menerapkan berbagai bermacam metode pembelajaran. Mereka sendiri yang tidak kunjung berubah. Maksudku, bagaimana mereka akan belajar jika mereka malas mencari referensi sendiri, mencari proyek sendiri, mencari dimana keterbatasan mereka sendiri. OK mungkin mereka lebih terlihat buntu daripada malas, namun bukankah itu sama saja?. Mereka masih mempunyai waktu luang banyak, namun tetap menggantungku sebagai parasit akibat kepasifan mereka, menunggu jawaban “kapan aku free”. Terkadang meminta bantuan yang mendesak saat mereka membutuhkan. Inilah yang aku maksud dengan “bayaran” mahal itu. Terkadang aku tak tidur karenanya.

Sampai sekarang, aku masih menerka petunjuk yang ada, buku, novel, literasi. Aku sadar, ini adalah anugrah – sekaligus kutukan. Maksudku, membantu orang lain justru buatku puas. Namun aku mungkin terlalu terbuka, terlalu menghandle banyak orang, yang akhirnya aku nyaris tak punya waktu memikirkan diriku sendiri, meskipun aku masih mempunyai ambisi untuk diriku sendiri.

Entahlah, semakin membaca buku, novel, literasi tersebut pula, aku tak gentar menghadapi banyak masalah orang lain, karena, pandangan mataku sekarang lebih luas, seluas hingga…. aku sudah bodoamat dengan masalah sendiri. Ini membuatku santai dan optimis dalam menyelesaikan berbagai masalah – untuk orang lain, dan diri sendiri – entah dalam artian apakah itu lebih bagus atau buruk.

Sungguh, Seni untuk belajar otodidak, sepertinya tidak mudah untuk diturunkan. Tak akan bisa turun dengan paksaan, Tak akan bisa tertular tanpa kesungguhan. Kalaupun aku mau, aku bisa belajar skill lain secara otodidak. Memasak misalnya, belajar bahasa baru, atau menyetir mobil. Namun aku terlalu sibuk memikirkan orang lain, sebagai tanggung jawab, daripada diriku sendiri.

Revolusi Ke-19

Roda waktu telah berputar ke-19 kalinya. Saatnya aku gentar menghadapi masalah ini dengan pusaka baru.

...

I forgot that I should regret a lot from my self.
I forgot that my confusion kills my precious time.
I forgot that my undertermination kills a lot people.
I forgot that my ambitions kills my pure spirit.

I forgot I can make happiness as with simple as a smile.
I forgot I can feel satisfaction by letting things go.
I forgot I can feel safe and sound by having backup plans.

I dream a lot and I chase this world too loud.
It makes me forgot how I am grateful for today.
It makes me forgot, that confusius, as confusion to self, is dangerous.

Confusius, penggalan dari full naskah itu. Adalah solusi yang aku sangat idamkan. Namun entah sampai sekarang aku gagal mengganggapnya sebagai protokol tertinggiku. Aku masih menyesuaikan.

Inti dari isinya adalah, aku harus mempunyai jadwal rutinitas sendiri, agar waktuku efisien semaksimal mungkin. Tidak hanya itu, aku harus determinitif, tajam, dan ambisius, meminimalisir waktu yang terbuang sia-sia oleh kebimbangan. Aku harus senantiasa bersyukur, tenang, dan dingin dengan meningkatkan intelijensi, namun tetap merendah diri sendiri dimata orang lain – Merubah arah kesalahan orang lain menjadi diri sendiri, lalu membuat tameng dengan perencanaan yang matang. Dan yang terpenting, untuk tidak bimbang terhadap diri sendiri, karena itu sangat berbahaya untuk diriku sendiri dan orang lain.

Aku akan senantiasa ingat bahwa aku mempunyai harapan – Skenario diatas skenario. Maka aku tegaskan diriku sendiri, rutinitas yang aku jalani, ambisi yang aku persiapkan, protokol yang aku patuhi, untuk petualangan tak terbatas berikutnya. Mental ini harus kokoh, Lelah ini harus menjadi Lillah. Karena aku yakin, bahwa tidak ada yang patut dicari didunia ini, selain ridho ilahi dan kebahagiaan orang lain, ialah benar adanya.

Takeaway:

  • Baca lagi masalah Kendala Bahasa, Minat, Sumberdaya. Itu adalah paragraf terpenting untuk kalian.
  • Otodidak adalah senjata paling jitu untuk menguasai segala jenis skill.
  • Hari ini adalah ulang tahun ku ke-19. Terimakasih.