Perspektif baru dari Ta'lim Mutaalim
Dulu aku belajar kitab ini saat masa dipondok. Namun apalah dayaku untuk mengerti saat ku kecil itu. Sekarang dengan pertanyaan yang penuh dikepalaku, kitab ini menjawab hampir semuanya. Meski mati satu tumbuh seribu, kitab ini membuka sebuah perspektif yang 180 derajat berbeda dari yang aku rasakan. Aku ingin menerapkan perspektif itu mulai dari sekarang.
Niat untuk Belajar
Aku suka coding. Dan aku suka mempelajari hal itu sebagai bagian dari hidupku. Tapi kau tahu, apa tujuanku mengejar skill ini?
Jika kau lihat dari perspektif kitab ini. Aku salah besar. Maksudku, buat apa belajar kalau hanya mencari kesenangan dunia? Buat apa belajar jika hanya harta dunia yang selalu aku cari? Confusius, as confusion to self, aku tak boleh demikian. Aku harus menggunakannya dengan bijak, untuk kebaikan dan menolong sesama manusia. Ilmu yang aku raih dengan skill ini menurutku sudah cukup tinggi, sehingga ini waktuku untuk menyalurkan apa yang aku dapatkan kepada mereka yang ingin sekali mendapatkannya. Belajar untuk mengajar, mengamalkan untuk amar ma’ruf nahi munkar, yah itu pasti akan sangat sulit.
Niat tulus seperti itu tentu akan menyengsarakan diriku, maksudku, aku mungkin tidak akan mempunyai waktu untuk menjalankan to-do list projects yang aku punya, dan aku harus mengabaikan semua offer dari client yang tahu bakatku akan berguna, termasuk maintenance releases dari bisnis yang aku jalankan selama 3 tahun ini. Namun akan selalu kuingat, Happiness doesn’t come from money, it’s comes from inside, as simple as a smile. Aku lakukan apa yang aku suka lakukan, mulai dari niat baik yang tulus, hingga membuat diriku berguna melalui bakat yang aku andalkan.
Iklash tanpa Imbalan
Hal tersulit dalam kitab ini ialah bagaimana aku harus berharap dan mentarget apa yang aku inginkan selama mengejar sebuah cita-cita.
Pertama, niat baik yang tulus. Itu sudah aku bahas. Kedua, aku harus ingat, bahwa Hanya Tuhan yang pantas dijadikan untuk tempat bergantung. Aku tahu sebuah fakta bahwa satisfaction itu setara dengan realita dibagi dengan ekspetasi: Aku tak boleh menggantungkan diri pada orang lain, menggantungkan jadwalku pada orang lain. Confusius, as confusion to self, Jika ada yang tidak lengkap, aku sendiri yang akan mencarinya, karena semakin sedikit harapanku pada orang lain, semakin besar kemungkinan apa yang aku dapatkan.
Dan aku harus menerima kenyataan yang paling dasar, Most people don’t care, pada dasarnya tidak ada yang peduli denganku, tak ada yang peduli dengan apa yang aku citakan. Tempatku bergantung itu bukan pada orang lain. Usaha keras dan curhatanku melalui doa, itu yang paling baik diantara yang terbaik.
Namun aku harus tetap ingat pada statement pertama. Niat baik yang tulus. Itulah iklash tanpa Imbalan. I expect no return. Tiap kali aku membantu mereka, pastikan aku tak berharap apapun. Hanya ridho sang Ilahi yang ingin aku panjatkan. Tiap kali aku mengejar seseorang, pastikan aku siap menerima segala kemungkinan, termasuk yang paling buruk diantara yang paling buruk. Karena tempatku bergantung bukan disana, melainkan usaha dan do’a.
Bioritma sebagai Protokol
Inilah kenyataanku yang paling pahit. Kitab ini menerangkan tentang rutinitas yang harus selalu dijaga, namun aku tidak menjaganya dengan baik. Bioritme ku hampir hancur.
Serugi-ruginya makhluk ialah manusia yang melewatkan banyak hal seiring waktu berjalan. Malas, jika kau ingin kata pedasnya. Aku adalah Panda yang lelet dan suka mengolor waktu. Itu adalah fakta, bukan opini. Aku adalah orang paling malas didunia ini, dan aku ingin merubahnya. Confusius, as confusion to self, Waktuku harus efisien dan teratur, bioritme ku harus aku jaga dan prioritaskan agar efisiensi ku meningkat.
Aku tak ingin melewatkan banyak hal. Aku teringat dulu saat aku bangun teratur jam 3 pagi, memulai pagi dengan air dingin yang segar, berjalan mencium aroma rumput ilalang yang sedap dipandang, atau melanjutkan aktivitas yang aku lewatkan semalam. Teknologi zaman sekarang, handphone dan laptop, itu Noise, penuh dengan kebisingan, dan aku harusnya tidak memulai pagi dengan kebisingan yang mengganggu bioritmeku.
Aku pula teringat dulu, setelah 6 jam penuh energi untuk memulai hari, aku harus break, mengurangi aktivitas saat matahari tergelincir. Memulihkan otak dan tenaga, dan lanjut beraktivitas hingga sunset, melanjutkan tugas saat malam dan akhirnya terlelap dalam damai sebelum pukul 10 malam.
Bioritme itu sangat indah dan teratur, namun entah mengapa itu hilang, mungkin karena ambisiku terlalu tinggi. Dan aku ingin menggalinya kembali mulai dari sekarang. Kali ini mengganggapnya sebagai protokol tertinggi dalam sistemku.
Revolution of 19th
Memo ini, kuanggap sebagai refleksi untuk diriku sendiri. Aku bahkan membuat puisi untuk itu:
I forgot how to dream this life.
I forgot how should I see this world as.
I forgot how should I've been:
I forgot how I wake up at three of the early dusk.
I forgot how I wake, and avoid the noise first.
I forgot how I wake, then drink, and grasp a water.
I forgot how I wake, and rejuvenate with my creator.
I forgot how I wake and start. The day.
I forgot the smell of grass in weekend morning.
I forgot to enjoy a sunshine. Seeing how beautiful the world are.
I forgot to get a breakfast and feel the road to plan a goal for today.
I forgot... the feeling to bootstrap the day. Fast.
I forgot the Noise. This phone, the internet. They're noisy. Don't mix my bootstrap with it.
I forgot 7 o'clock in morning, the time to meet the world. Bringing the stuff on.
I forgot the noon, the rest time, to recharge the day.
I forgot near sunset, after recharge, to regain the body. Another cold water.
I forgot 6 o'clock I have to rejuvenate, reading the state-of-the-art book.
I forgot 7 o'clock I have to review stuff. No reasoning to get the ass off.
I forgot 10 o'clock I have to rebase and get thyself on tomorrow.
I forgot that I should regret a lot from my self.
I forgot that my confusion kills my precious time.
I forgot that my undertermination kills a lot people.
I forgot that my ambitions kills my pure spirit.
I forgot I can make happiness as with simple as a smile.
I forgot I can feel satisfaction by letting things go.
I forgot I can feel safe and sound by having backup plans.
I dream a lot and I chase this world too loud.
It makes me forgot how I am grateful for today.
It makes me forgot, that confusius, as confusion to self, is dangerous.
Welcome to the crazy world, shenanigans.
The road to 19th revolution, just began.
Dunia ini, dan seisinya, adalah fana – mereka hanya ilusi yang nyata, hanya perspektif kita terhadap dunia, membuat ilusi itu menjadi kenyataan.
Takeaway:
- Jangan mengejar hal yang “fana”, carilah demi sifat yang kekal1.
- Jangan bergantung pada orang lain.
- Jangan menyia-nyiakan waktu dan buat dirimu berguna se-efisien mungkin.
-
Taqwa dan ridho pada ilahi ↩