Midnight Train of Thought
Entah ini adalah penyakit atau kebiasaan, hampir tiap malam saat kesibukan lenggang, justru otakku tak pernah bisa diam memikirkan beragam hal. Namun, satu hal yang aku selalu amati, hampir semua persoalan bertuju pada satu hal: Masa depan.
Tentu, manusia tak bisa mengintip nasib masa depan. Namun, dengan adanya akal, mana mungkin ada manusia didunia ini gak pernah meresakan untuk berkhayal? Memikirkan hal yang mereka inginkan sedari dulu, atau mewujudkan misi bayangan mereka seolah-olah itu tujuan hidup mereka?
Aku tahu, manusia itu lemah, hanya serpihan debu diantara angkasa. Tapi justru itulah, yang membuat manusia spesial. Kita tidak ditugaskan untuk misi khusus seperti setan atau malaikat, jadi semua terserah kita. Kita mau berbuat apa selama kita hidup di batu raksasa yang kita namakan “Bumi” ini?
Ada orang yang peduli dengan Bumi ini. Ada pula orang yang serakah berjalan diatas Bumi ini. Mereka yang serakah sebenarnya bukan tidak peduli, hanya saja tidak tahu cara kehidupan bekerja, yakni, meski kita semua bakal jadi debu, paling tidak kita bisa berusaha merawat Bumi ini untuk anak cucu kita, generasi masa depan. Kalau kamu tidak berpikir demikian, it’s okey, lambat atau cepat, saat tua kau akan menyadari itu, adalah sebuah Harapan.
Jangan remehkan harapan, karena itu salah satu motivasi terpenting nenek moyang kita mengusir penjajah. Dan hey! Itu masih relevan dengan sekarang. 20 tahun hidup, dan aku masih berharap kalau besok akan jauh lebih baik dari sekarang. Meski kenyataannya, semuanya berjalan dengan sangat lambat.
Bagaimana dengan rentang hidup manusia? 10 tahun masa kanak-kanak ditambah 20 tahun masa remaja kemudian 30 tahun berumah tangga hingga tersisa masa pensiun. Dengan waktu yang “singkat” itu, kerap kali kita menemui impian seseorang yang awalnya menggebu lalu menciut hingga sebutir jagung. Astaga, lalu buat apa hidup? Mungkin benar, manusia yang sejatinya serakah. Sudah dikasi makanan, oksigen, tempat yang gratis, masih saja ingin menguasai dunia, padahal waktu di bumi sangat cukup singkat. Bagaimana bisa demikian?
Harapan. Itulah jawabannya. Manusia percaya apabila kau pergi menuju bulan, paling tidak kau bisa jatuh diantara bintang. Dan satu hal yang dapat aku simpulkan selama hidup 20 tahun ini, ialah, tidak masalah tujuan kita kemana, mau jadi Presiden, Astronot, Ilmuwan, Maestro atau Arsitek – semuanya sama. Yang membedakan ialah, dalam prosesnya, apakah kamu tokoh protagonis atau antagonis di atas muka bumi ini? Apakah kamu membantu bumi ini terpelihara atau malah merusaknya? Coba pikirkan sejenak.
Ingat, pikiran manusia adalah selalu subjektif. Bahkan penjahat pun masih punya Hati. Kau harus ingat, bahwa perlakuan jahat akan pasti membakar diri yang awalnya baik. Begitu cara hidup bekerja, karena sejatinya, semua manusia di muka bumi ini sama, yang membedakan hanyalah isi otak dan memorinya. Dan itu lah kuncinya,
Mungkin salah satu pembaca disini pernah berpikir deep sedalam seperti ini, buat apa sih hidup kalau cuma sesingkat ini? Kemudian pengalaman hidup singkatku mengatakan, it’s okey, percayalah, banyak orang sana yang sedang memanjat impian mereka masing-masing. Meski impianmu dan mereka masih sama jauhnya diatas sana, kau tetap bisa bantu banyak sekali orang dalam prosesnya.
Alhasil, meski impianmu terlahap oleh waktu, namun paling tidak masih ada ratusan impian lain yang tercapai berkat dirimu, dan 100 impian itu jauh lebih baik daripada satu, kan?. Inilah cikal bakal kenapa orang bilang, proses jauh lebih penting daripada hasilnya.
So, Selalu isi otakmu dengan kebaikan, untuk bumi ataupun manusia, sehingga isi otak mu akan dipenuhi oleh memori yang baik. Tujuanmu didunia ini masih jauh, tapi paling tidak, kau bisa bangga bahwa tidak hanya impianmu saja yang akan tercapai, berkat kerja kerasmu. Percayalah.